Artikel SBY: Pulihkan Kedamaian Dan
Persatuan Kita
ADA
dua nasehat orang bijak yang saya ingat. Pertama, in crucial thing unity.
Artinya, kita mesti bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting, apalagi
genting. Kemudian, yang kedua, there will always be a solution to any
problem. Maknanya, setiap persoalan selalu ada solusinya. Ada jalan
keluarnya. Saya rasakan kedua ungkapan ini relevan dengan situasi di negara
kita saat ini.
Bangsa
Indonesia kembali menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi saya
amati juga terjadi di seluruh tanah air. Yang semula isunya cukup sederhana dan
bisa dicarikan solusinya, baik secara hukum maupun non hukum, telah berkembang
sedemikian rupa sehingga menjadi rumit. Gerakan massa yang mengusung tema
mencari keadilan mendapatkan simpati dan dukungan yang luas. Sementara itu,
pemerintah memilih cara melakukan gerakan imbangan dengan tema besar menjaga
kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat pemerintah ini tentulah baik, langkah
ini justru memunculkan permasalahan baru. Pernyataan penegak hukum bahwa negara
akan menindak siapapun yang melakukan tindakan makar, yang disampaikan beberapa
hari yang lalu sepertinya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut,
bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat. Apa dengan demikian negara
kita menuju ke keadaan krisis? Menurut saya tidak. Saat ini tidak akan ke
sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada sekarang ini segera diselesaikan secara
cepat, tepat dan tuntas.
Dalam
situasi seperti ini, secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi. Akan
menjadi baik jika saya ikut menyampaikan pandangan dan saran kepada pemimpin
kita, Presiden Jokowi, agar beliau bisa segera mengatasi masalah yang ada saat
ini. Namun, lebih dari tiga minggu ini memang saya memilih diam. Bahkan untuk
sementara saya menutup komunikasi dengan berbagai kalangan, termasuk para
sahabat, yang ingin bertemu saya (saya mohon maaf untuk itu), dari pada kami
semua kena fitnah. Saya masih ingat ketika saya melakukan klarifikasi atas informasi
(baca: fitnah) yang sampai ke pusat kekuasaan bahwa seolah Partai Demokrat
terlibat dan SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya diserang
dan "dihabisi" tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang berkembang
saat ini, saya pikirkan tak baik jika saya berdiam diri. Oleh karena itu,
melalui wahana inilah saya ingin menyampaikan harapan dan pandangan sederhana
saya tentang solusi dan tindakan apa yang layak dilakukan oleh pemerintah.
Memburuknya
situasi sosial dan politik sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini,
sebenarnya preventable. Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan masalah
utamanya di waktu lalu kurang terbuka, kurang pasti dan kurang konklusif.
Kebetulan sekali (unfortunately) kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan isu
agama yang sangat sensitif, yaitu berkenaan dengan kitab suci. Ketika akhirnya
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok
itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin
puncak yang saya nilai tepat dan benar itu terlambat datangnya. Sama saja
sebenarnya dengan penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too
late. Nampaknya sudah terlanjur terbangun mistrust (rasa tidak percaya)
dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah ada
trust deficit. Karenanya, menurut pandangan saya saat ini prioritasnya
adalah mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara. Dengan
pendekatan yang bijak dan komunikasi yang tulus dan tepat, diharapkan bisa
terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan pemerintahnya.
Mengalirkan
isu Pak Ahok ke wilayah SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala
dramatisasinya menurut saya menjadi kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya
juga bukan permasalahan minoritas vs mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa
yang amat majemuk ini harus dijaga agar jangan sampai ada ketegangan dan
konflik yang sifatnya horizontal. Ingat, dulu diperlukan waktu 5 tahun untuk
mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Upaya
membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan.
Masyarakat bisa melihat bahwa dalam melakukan aksi-aksi protesnya para
pengunjuk rasa tak mengangkat isu agama dan juga isu etnis. Karenanya, jangan
justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik baru yang
amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horizontal baik di Jakarta
maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.
Sementara
itu, ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional
dengan tema pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di
dalam negeri makin bergejolak.
Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana
yang merupakan isu HAM dan mana yang bukan. Dulu ketika saya mengemban tugas
sebagai Menko Polkam dan kemudian Presiden Republik Indonesia, isu-isu
demokrasi, kebebasan serta perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia
selalu menjadi perhatian kita. Isu-isu itu juga terus kita kelola dengan
cermat, transparan dan senantiasa merujuk kepada hukum nasional dan
internasional. Menurut pendapat saya, proses hukum terhadap Pak Ahok bukanlah
isu pelanggaran HAM. Kita serahkan saja kepada penegak hukum di negeri sendiri.
Biarlah para penegak hukum bekerja secara profesional, adil dan obyektif.
Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan. Biarlah hukum bicara ~
apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu pemahaman saya terhadap
rule of law.
Tetapi
dalam perkembangannya, baik di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa
sepertinya kini mengarah ke Presiden Jokowi. Saya mengikuti berbagai spekulasi
yang menurut saya menyeramkan. Apa itu? Muncul sejumlah skenario tentang
penjatuhan Presiden Jokowi. Tak pelak pernyataan Kapolri tentang rencana makar
menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Di samping ada pihak di
luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, menurut rumor yang beredar, katanya
juga ada agenda lain dari kalangan kekuasaan sendiri. Skenario yang kedua ini
konon digambarkan sebagai akibat dari adanya power struggle di antara mereka.
Terus terang saya kurang percaya. Pertama, saat ini tak ada alasan yang kuat
untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Yang kedua, apa sebegitu nekad gerakan
rakyat yang tidak puas itu sehingga harus menjatuhkan Presiden dengan cara
makar. Demikian juga, jika ada pihak di lingkar kekuasaan yang sangat
berambisi dan tidak sabar lagi untuk mendapatkan kekuasaan, apa juga kini gelap
mata, sehingga hendak menjatuhkan Presiden, pemimpin yang mengangkat mereka
menjadi pembantu-pembantunya.
Memang
sekarang ini namanya fitnah, intrik, adu domba dan pembunuhan karakter luar
biasa gencarnya. Termasuk ganasnya "kekuatan media sosial" yang
bekerja bak mesin penghancur. Banyak orang menjadi korban, termasuk saya.
Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak
Jokowi, misalnya. Sebagai veteran pejuang politik saya punya intuisi,
pengalaman, pengetahuan dan logika bahwa banyak fitnah yang
memanas-manasi Presiden agar percaya bahwa SBY hendak menjatuhkan Presiden,
tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi. Luar biasa bukan? Semua harus
waspada. Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata
tak tampak. Jangan sampai ada maling teriak maling. Jangan sampai ada yang
mancing di air keruh. Mari berwaspada, jangan sampai kita mau diadu-domba.
Jangan kita berikan ruang media sosial yang sudah tidak civilized (tidak
berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban di negeri ini. Banyak yang
berpendapat bahwa mesin penghancur” itu tidak selalu bermotifkan ideologi, tapi
uang (money power). Saya amat sedih jika menyimak penggunaan bahasa yang amat
kasar dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari kelompok Sosmed tertentu.
Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua, lebih-lebih anak-anak dan remaja
kita, tetapi sesungguhnya juga menghancurkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa kita terpecah dan saling
bermusuhan.
Sementara
itu, jangan sampai pula kita semua jadi korban dari permainan intelijen bohong
dan buatan (false intelligence). Saya jadi ingat dulu sebelum terjadinya kudeta
atau makar terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, juga
diisukan ada Dewan Jenderal yang mau makar. Kemudian, yang menamakan dirinya
Dewan Revolusi justru yang melakukan makar, dengan dalih daripada didahului
oleh Dewan Jenderal.
Berbicara
tentang makar, saya tetap konsisten bahwa saya tak akan pernah setuju dengan
upaya menurunkan Presiden di tengah jalan. Akan menjadi preseden yang buruk
jika seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat kemudian dengan
mudahnya dijatuhkan oleh sekelompok orang yang amat berambisi dan haus
kekuasaan melalui konspirasi politik. Kalau kita paham konstitusi, seorang
Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan (impeachment
article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara seorang penguasa jatuh
oleh sebuah revolusi sosial atau people's power. Contoh yang paling baru adalah
kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat
sebenarnya people's power dan revolusi sosial itu tak bisa dibuat begitu saja.
Seolah-seolah seorang elit politik bisa menciptakan revolusi dengan mudahnya.
Saya
jadi ingat dulu ketika ada "Gerakan Cabut Mandat SBY" di era
kepresidenan saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk
melakukan makar. Saya tenang dan tidak panik. Saya tahu gerakan cabut mandat
itu hanyalah keinginan sejumlah elit, bukan rakyat. Saya tetap bekerja, dan
terus bekerja. Saya tak berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan
rule of law, dan kemudian bertindak represif. Saya tahu tokoh-tokoh politik
mana yang turun ke lapangan untuk mencabut mandat saya, tapi tak ada niat saya
untuk memidanakan mereka. Gerakan yang namanya seram itu, "cabut mandat
dan turunkan SBY" akhirnya cepat berlalu ....
Tentu
ada sebuah pesan moral. Bagi yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden,
tempuhlah jalan yang benar dan halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi.
Toh pada saatnya akan ada pemilihan Presiden. Sabar. Jangan nggege
mongso.
Kembali kepada situasi nasional saat ini, bagaimanapun permasalahan yang menurut saya sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil dan demokratis. Cegah jangan sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar. Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power. Persuasi harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.
Kembali kepada situasi nasional saat ini, bagaimanapun permasalahan yang menurut saya sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil dan demokratis. Cegah jangan sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar. Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power. Persuasi harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.
Mesti
diketahui pula bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya.
Pahami konstitusi dan Undang-Undang Pertahanan serta Undang-Undang TNI. Jika
harus menetapkan keadaan bahaya, penuhi syarat-syaratnya. Pelajari Peraturan
Pemerintah yang mengatur keadaan bahaya dan tindakan seperti apa yang
dibenarkan jika negara berada dalam keadaan darurat. Cegah, jangan sampai
Presiden dan para pembantunya dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang
yang berlaku.
Dalam
keadaan "krisis", semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar
pegang kendali. Jangan didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi
siapapun yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam era
demokrasi seperti sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai
"penguasa absolut". Bangun hubungan yang baik dan sehat dengan
parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan Presiden
dengan rakyat. Jangan sampai Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi the
president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau
tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan
Presidennya. Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang
banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable.
Saya
berpendapat, sekarang ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah
memusatkan pikiran, waktu dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik.
Bangun dan dapatkan solusi terbaik itu dengan berbagai pihak. Langkah-langkah
Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin
sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan. Jangan hanya mengejar kuantitas,
tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan
hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi
seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan. Rangkullah rakyat,
pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati
mereka, jangan justru dibikin takut dan panas. Himbau mereka untuk tak perlu
selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan
pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius. Cegah dan
batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya
sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing
unity....
Dalam
situasi seperti ini, sebagai seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa
silam, termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun
bertugas di jajaran pemerintahan, saya mengajak rakyat Indonesia untuk
bersama-sama menjaga persatuan dan kebersamaan kita. Bersatu kita teguh,
bercerai kita runtuh. Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan
melampaui batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan
ketertiban sosial di negeri ini. Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan
kita, seberat apapun tantangan yang kita hadapi. Memang adalah sebuah amanah
jika rakyat menjadi gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran
dan keadilan. Namun, hendaknya perjuangan suci itu dilaksanakan secara damai
dan senantiasa berjalan di atas kebenaran Tuhan.
Akhirnya,
menutup tulisan ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin menyampaikan
bahwa sebagai pemimpin, tidaklah ditabukan jika ingin melakukan introspeksi dan
perbaikan-perbaikan. Hal begitu juga kerap saya lakukan dulu ketika selama 10
tahun memimpin Indonesia. Tak ada gading yang tak retak ....[***]
Susilo
Bambang Yudhoyono
Presiden RI ke-6
Sumber:
http://politik.rmol.co/read/2016/11/28/270209/Pulihkan-Kedamaian-Dan-Persatuan-Kita-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar